selamat datang orang Indonesia!

Bangsa-bangsa yang maju melakukan setiap pekerjaan dengan semangat yang tinggi, rasa senang hati dan dengan gairah. Kalau kita menghadapi pekerjaan sebagai beban, maka tulang-tulang kita akan lebih dulu patah sebelum bekerja. Mari bekerja sama-sama untuk melindungi anak-anak dimanapun mereka berada .... suarakan dengan lantang apa kesaksian kalian dan apa solusi untuk melindungi mereka, kontak: tata.sugandhi@gmail.com

Tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan adalah berdiam diri melihat penderitaan sesama.

Jumat, 26 Juli 2013

Anak suku Baduy


Melihat Dunia Luar dengan Batin:


Radio dan telivisi termasuk bagian dari barang-barang elektronik produk moderen yang tidak boleh dibawa masuk kewilayah perkampungn Baduy. Selain di sana belum ada aliran listrik, juga kerena radio dan telivisi termasuk barang yang "haram" unrtuk dimiliki. Tentu larangan itu dilandasi oleh argumentasi yang cukup rasional. Larangan terhadap telivisi dan radio berkaitan dengan upaya mereka menjaga keseimbangan hubungn antar manusia, agar agar pikiran dan hati mereka tetap terjaga dari kemungkinan bisa tak terkendali.


Sejak kecil, anak-anak sudah dilatih bekerja. Meskipun hanya melakukan pekerjaan sederhana.
Adat baduy melarang warganya sekolah. Oleh karena itu, tak seorang pun warga Baduy yang sekolah.
Anak-anak dididik mandiri sejak kecil.Mereka ikut berladang, mengangkut barang, dan mencari kayu bakar.
Yang kerap terlihat justru anak Baduy mondar-mandir sambil memikul aneka barang.
Mereka adalah para pekerja di kampung Morengo.
Anak-anak ini mengambil barang dari Cibolenger dan memikulnya hingga Morengo.
Bagi orang luar yang tak biasa naik turun bukit, perlu waktu sekitar 1 jam untuk berjalan dari Ciboleger menuju Morengo. Namun, anak-anak Baduy ini memikul barang berat itu sambil berjalan setengah berlari.

Senin, 02 Juli 2012

Merapi dan aku ...



MERAPI
Kau telah mengubah semuanya
Kau telah melululantahkan semuanya
Kau telah memiahkan aku dengan mereka
Saat kau memuntahkan semua isi yang ada di dalam peerutmu itu,
Kau mampu memusnahkan semuanya
Pepohonan yang tadinya hijau
Kini berubah menjadi kering dan kelabu
Oh…
Betapa dasyatnya kemarahanmu
Yang mampu menyapu bersih semua yang ada disekelilingmu
Kau telah mengubah takdirku
Sakit,sakit dan sakit
Akan aku terima
Karena sesungguhnya lerengmu adalah tempat tinggalku
Aku berdoa agar kejadian itu adalah yang terakhir dalam hidupku

Inilah bait-bait puisi yang ditulis oleh Endah Fri Utami. Betapa ganasnya amarah Gunung Merapi. semua yang ada terenggut dalam sesaat. Rumah yang dulu syarat dengan kasih sayang dan nyaman, berubah dengan rumah dengan dinding anyaman bambu di Huntara (Hunian Sementara).

Panggil saja namanya dengan Endah. Salah satu anak dari Dusun Mbronggang Sleman yang sekarang tinggal puing bangunan rumah. Awan panas telah menyapu desanya membawa korban jiwa dari saudara dan tengganya awal tahun 2011 lalu.

Satu kakak perempuan, satu kakak laki-lakinya serta ibunya telah tiada pada saat itu. 24 anggota keluarga besarnya pun menjadi korban jiwa saat itu. Endah sendiri mengalami luka bakar yang sangat parah. 50% tubuhnya tersapu panasnya awan panas. Sehingga ia harus menahan sakit selama 8 bulan di rumah sakit. Pendidikan pun belum dapat dijalani.

Sekarang kebugaran Endah tengah pulih. Tetapi bekas luka bakar di tubuhnya masih sangat kentara di kaki dan tangannya. Seluruh jari kakinya diamputasi tidak tersisa. Panasnya suhu awan panas telah masuk, tidak hanya pada lapisan kulit dalamnya. Sehingga banyak jaringan dagingnya yang harus dibuang, menyebabkan kakinya mengecil dan sulit untuk melangkah.

Waktu telah berlalu lebih dari setahun sejak kejadian itu. Anak dari Huntara itu kini tinggal hanya dengan Pak Sabar, bapaknya. Huntara telah sepi, ditinggal para penghuninya. Banyak tetangga dan saudaranya memilih kembali tinggal di tempat yang lama meski ancaman bahaya awan panas Merapi terus membayangi setiap waktu.


Para relawan yang dulu selalu mendampingi kini tidak ada lagi. Mereka yang jumlahnya ratusan kini tidak terlihat lagi. Pasca bencana memang tidak menjadikan hal seperti ini menarik untuk terus didampingi. Hanya tersisa segelintir saja yang mau terus berada diantara mereka.

Semoga saja, Endah mendapatkan semangat baru dan memandang sebuah keterbatasan dari Tuhan ini tidak menghalangi terwujudnya mimpi-mimpinya, dan memberi sebuah ketergugahan kita semua untuk terus berempati pada mereka. Endah hanya satu dari puluhan anak dari Huntara yang menjadi korban Merapi. Mereka masih perlu telinga kita untuk mendengar suara mereka. Belum waktunya untuk kita tinggalkan meski Merapi tengah diam. 

Apa yang disuarakan Endah sebagai anak yang tinggal di daerah rawan bencana?

 == Endah Fri Utami, dusun Bronggang, kelurahan Argomulyo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, provinsi DIY. Facebook: Endah Oke, email: esupiyem@yahoo.com.==

Jumat, 10 Februari 2012

Suku Anak Dalam


 
Alih fungsi hutan di Jambi menjadi ancaman serius bagi kehidupan orang rimba atau biasa disebut Suku Anak Dalam. Alih fungsi lahan yang membabi buta menjadikan ruang kehidupan orang rimba di Jambi semakin sempit. Kondisi ini menyebabkan konflik humanistik.

Alih fungsi kawasan hutan baik oleh perorangan maupun perusahaan di Jambi sudah terjadi sejak dua dekade terakhir. Tercatat lebih dari 853.430 hektar kawasan hutan di Jambi beralih fungsi dan dikelola. Jumlah itu belum ditambah alih fungsi oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan seperti sawit dan karet. Selain menimbulkan degradasi hutan.

Orang rimba Jambi menempati beberapa daerah pedalaman kabupaten di Provinsi Jambi seperti Kabupaten Batanghari, Tebo, Sarolangun, sebagian Kabupaten Bungo dan Kerinci. Tencatat sedikitnya ada tiga kasus besar yang melibatkan orang rimba dan menyebabkan tiga orang rimba meninggal dunia dan selebihnya luka luka.

Proses hukum terhadap orang rimba juga menjadi kredit tersendiri. Mengingat, kasus kasus pembunuhan maupun pengeroyokkan kepada orang rimba proses hukumnya tidak jelas.

Suku Anak Dalam diperkirakan berjumlah populasi sekitar 200.000 orang. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Mayoritas menganut kepercayaan animisme.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka, termasuk anak-anak hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan. Bagaimana dengan akses pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak dari suku Anak Dalam?



== Egi Darmanto, Jl. Poros, Desa Bulian Baru.== Anak dari suku Anak Dalam di Jambi yang akan menyuarakan perlindungan hak anak di komunitas adat.